Kamis, 15 Desember 2011

JAUHKAN DIRI ANDA DARI API NERAKA

Teman!
Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi SAW, kita pasti menemui berbagai macam pahala, keutamaan dan kemuliaan yang bakal diperoleh seseorang yang mengeluarkan sadaqah. Sungguh! Hati setiap Muslim menjadi lapang, segala sifat pelitnya menjadi musnah saat ia mendengar hadits-hadits tadi. Ia seakan-akan beranjak menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi, ia akan memasukinya dengan penuh kenyamanan dan keamanan hanya dengan satu cara, yaitu bersadaqah. Rasulullah SAW bersabda:
((اِتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بـِشِــقِّ تَمْـــرَةٍ)) [1].
“Jauhilah neraka! Meski dengan berinfaq separuh kurma.”
Beliau juga bersabda:
((الصَّوْمُ جُـــنَّةٌ، وَالصَّــدَقَةُ تُـطْفِـئُ الْخَطِــيْئَةَ كَمَا يُطْفِـئُ الْمَاءُ النَّارَ)) [2].
“Puasa adalah perisai seseorang dari api neraka. Sedangkan sadaqah, ia bakal menghapuskan segala kesalahannya seperti air yang  memadamkan api berkobar-kobar.”
Juga hadits lain riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
((سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِـلِّهِ يَوْم لاَ ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ))، وَذكَرَ مِنْهُمْ رَجُلاً ((تَصَدَّقَ بـِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِـقُ يَمِيْنُهُ)) [3].
“Ada tujuh golongan yang Allah I bakal menaungi mereka dibawah naungannya, yang tiada naungan di hari itu selain dari-Nya”, kemudian beliau menyebutkan salah satu golongan dari mereka, “Dan seseorang yang mengeluarkan sadaqah, ia sangat merahasiakannya, sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diinfaqkan tangan kanannya.”"
Saudara! Rasulullah SAW  telah memberikan teladan kepada kita dalam hal berinfaq dan memberi, betapa banyak infaq yang beliau keluarkan. Perbuatan beliau ini membuat semua orang meniru mengeluarkan sadaqah seperti yang beliau lakukan tanpa ragu-ragu.
Anas bin Malik RA berkata,
((مَا سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اْلإِسْلاَم شَيْئاً إِلاَّ أَعْطَاهُ، وَلَقَدْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَـأَعْطَاهُ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إِلَى قـَوْمِهِ فَقال: يَا قَوْمِ أَسْلِمُوْا، فَإِنَّ مُحَمَّداً يُعْطِي عَطاءَ مَنْ لاَ يَخْشَى الْفَـــقْرَ…)) [4].
“Tidaklah Rasulullah þr dimintai sesuatu dalam islam, kecuali beliau memberikannya. Sungguh! Pernah datang seorang lelaki kepada beliau, beliau langsung memberinya kambing sebanyak dua lembah. Akhirnya lelaki itu pulang ke kampung halamannya dan berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Masuk Islamlah kalian, karena Muhammad SAW adalah orang yang suka memberikan harta dan tak takut miskin sedikitpun…”"
Adapun orang-orang yang tak pernah berinfaq dan enggan mengeluarkan hartanya, di sini ada sebuah kabar gembira dari Rasulullah SAW. Beliau tak pernah berbohong dan selalu benar perkataannya, beliau menyatakan bahwa sadaqah tak mungkin mengurangi harta, bahkan Allah bakal memberi harta yang berlipat-lipat kepada orang-orang yang berinfaq,
((مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْداً بـِعَفْوٍ إِلاَّ عِزاًّ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَـدٌ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ)) [5].
“Sadaqah sekali-kali tak mengurangi harta benda, dan tidaklah seseorang mengampuni kesalahan orang lain, kecuali perbuatannya ini menambah kemuliaannya. Dan siapapun yang rendah diri karena Allah, Allah pasti Mengangkat derajatnya.”
Beliau juga bersabda dalam hadits lain ,
((قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ، يُنْفِــقِ اللهُ عَلَيْكَ)) [6].
“Allah Berfirman: Wahai anak Adam! Berinfaqlah, niscaya Aku Berinfaq padamu.”
Saudaraku…..
Di bawah ini sebuah kisah nyata yang pernah terjadi di zaman para sahabat. Yaitu berlomba-lomba dalam mengerjakan amal saleh yang terjadi antara Umar dan Abu Bakar radhiyallahu `anhuma, seperti yang dikisahkan Umar radhiyallahu `anhu,
فَعَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضـِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَصَدَّقَ، وَوَافَقَ ذَلِكَ مَالاً عِنْدِيْ، فَقُلْتُ: اْليَوْمَ أَسْبـِقُ أَبَا بَكْرٍ، إِنْ سَـبَـقْتُهُ يَوْمًا. قَالَ: فَجـِئْتُ بـِنـِصْفِ مَالِيْ، قَالَ: فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَا أَبْقَيْتَ ِلأَهْلِكَ؟))، قُلْتُ: مِثْلَهُ، وَأَتَى أَبُوْ بَكْرٍ بـِكُلِّ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ
لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟)) قَالَ: أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، قُلْتُ: لاَ أُسَابـِقُكَ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا [7].
“Dari Umar bin Khattab RA ia berkata, Rasulullah þr menganjurkan kepada kami untuk berinfaq. Saat itu kebetulan saya mempunyai harta yang banyak. Sayapun berkata, “Jika hari ini saya mendahului Abu Bakar, pasti saya bisa mengalahkannya (dalam beramal saleh).” Umar berkata, “Lalu saya menghadap Rasulullah þr dengan membawa separuh harta saya”, Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang kau sisakan buat keluargamu?” Saya menjawab, “Saya menyisakan buat mereka separuh harta saya yang lain.” Kemudian datanglah Abu Bakar dengan seluruh harta yang dimilikinya. Rasulullah þr bertanya padanya, “Apa yang kau sisakan buat keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Cukuplah saya memasrahkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Umar berkata, “Sungguh! Saya tak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar sedikitpun.”"

[1] Muttafaq Alaih.
[2] Hadits Sahih, Lihat, Sahih At-Targhib Wa Tarhib, Al-Albani.
[3] Muttafaq Alaihi.
[4] HR. Muslim.
[5] HR. Muslim.
[6] Muttafaq Alaih
[7] HR. Abu Dawud Dan At-Tirmidzi

Bahan Rujukan: Berjuta Berkah Karena Sedekah, hlm. 17-21
1-Penulis: Syaikh Abdul Malik Al-Qasim
2-Penerjemah: Wafi Marzuqi Ammar, Lc., M.Pd.I
3-Penerbit: Pustaka eLBA Surabaya. Perum Galaxi Bumi Permai, Blok G6-16, Surabaya, 60119

4- Cetakan: Pertama, Agustus 2009 M
5- ISBN: 978-979-26-6791-9

Jumat, 02 Desember 2011

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN SESEORANG [1]

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan sebagiannya:

1. Menyekutukan Allah (syirik).
Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal, beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” [An-Nisaa': 48]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.
Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah, maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Israa': 56-57][2]

3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat me-reka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi, Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” [Ali ‘Imran: 19][3]

Termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, sekularisme, Masuni, Ba’ats atau keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.

Juga firman-Nya:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka, atau meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, sedangkan kekufuran mereka itu telah menentang Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]

Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah.[4]

4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.

Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba, meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maa-idah: 50]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 45]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]

5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 8-9]

Juga firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelas petunjuk bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’ sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 25-28]

6. Menghina Islam
Yaitu orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur-an, agama Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau menghina masjid, adzan, memelihara jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta terdapat keberkahan padanya, maka dia telah kafir.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

“… Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [At-Taubah: 65-66]

Dan firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]

7. Melakukan Sihir
Yaitu melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti memalingkan kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi kebencian terhadapnya.

Adapun al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu dan mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia mencintainya dengan cara-cara syaithan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“...Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir...’” [Al-Baqarah: 102]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.’” [5]

8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum Muslimin

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51][6]

Juga firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Al-Maa-idah: 57]

9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia diberikan keleluasaan untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan keluar dari sya’riat Nabi Musa Alaihissallam, maka ia telah kafir.

Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya, maka tidak wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk menyelisihi dan keluar dari syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]

Dan dalam hadits disebutkan:

وَاللهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى حَيًّا لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ.

“Demi Allah, jika seandainya Musa q hidup di tengah-tengah kalian, niscaya tidak ada keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti syari’atku.”[7]

10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan tidak beramal dengannya.
Yang dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari pembatal-pembatal keislaman adalah berpaling dari mempelajari pokok agama yang seseorang dapat dikatakan Muslim dengannya, meskipun ia jahil (bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang sifatnya terperinci. Karena ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang tidak ada yang sanggup melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut ilmu.

Firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ

“... Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa: 124]

Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan termasuk dari perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab jika tidak demikian orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan fulan, dan menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang demikian termasuk perkara yang diharamkan.

Allah berfirman:

فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]

Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazhkan ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali apa yang telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau kesalahan yang mereka terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini telah membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus.” [8]

Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’

Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” [9]

Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka, maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang.” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syarat-syarat seseorang dapat dihukumi sebagai kafir adalah:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.

Sedangkan intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas: (1) Tidak mengetahui, (2) tidak disengaja, dan (3) karena dipaksa. [11]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/ Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.
[2]. Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa': 140, al-Baqarah: 217, Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82 dari surat Ali ‘Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44).

Minggu, 13 November 2011

Garis Edar


Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, 21:33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

Sebagaimana komet-komet lain di alam raya, komet Halley, sebagaimana terlihat di atas, juga bergerak mengikuti orbit atau garis edarnya yang telah ditetapkan. Komet ini memiliki garis edar khusus dan bergerak mengikuti garis edar ini secara harmonis bersama-sama dengan benda-benda langit lainnya.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (Al Qur'an, 51:7)
Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.
Semua benda langit termasuk planet, satelit yang mengiringi planet, bintang, dan bahkan galaksi, memiliki orbit atau garis edar mereka masing-masing. Semua orbit ini telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti dengan cermat. Yang membangun dan memelihara tatanan sempurna ini adalah Allah, Pencipta seluruh sekalian alam.
Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.

Keajaiban Alqur'an (jenis kelamin pada bayai)

Hingga baru-baru ini, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh sel-sel ibu. Atau setidaknya, dipercaya bahwa jenis kelamin ini ditentukan secara bersama oleh sel-sel lelaki dan perempuan. Namun kita diberitahu informasi yang berbeda dalam Al Qur'an, yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki atau perempuan diciptakan "dari air mani apabila dipancarkan".
"Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan." (Al Qur'an, 53:45-46)
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi yang diberikan Al Qur'an ini. Kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam proses penentuan jenis kelamin ini.
Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Dua dari 46 kromosom yang menentukan bentuk seorang manusia diketahui sebagai kromosom kelamin. Dua kromosom ini disebut "XY" pada pria, dan "XX" pada wanita. Penamaan ini didasarkan pada bentuk kromosom tersebut yang menyerupai bentuk huruf-huruf ini. Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan.
Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu dari kromosom ini, yang pada pria dan wanita ada dalam keadaan berpasangan. Pada wanita, kedua bagian sel kelamin, yang membelah menjadi dua selama peristiwa ovulasi, membawa kromosom X. Sebaliknya, sel kelamin seorang pria menghasilkan dua sel sperma yang berbeda, satu berisi kromosom X, dan yang lainnya berisi kromosom Y. Jika satu sel telur berkromosom X dari wanita ini bergabung dengan sperma yang membawa kromosom Y, maka bayi yang akan lahir berjenis kelamin pria.
Dengan kata lain, jenis kelamin bayi ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel telur wanita.
Tak satu pun informasi ini dapat diketahui hingga ditemukannya ilmu genetika pada abad ke-20. Bahkan di banyak masyarakat, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh pihak wanita. Inilah mengapa kaum wanita dipersalahkan ketika mereka melahirkan bayi perempuan.
Namun, tiga belas abad sebelum penemuan gen manusia, Al Qur'an telah mengungkapkan informasi yang menghapuskan keyakinan takhayul ini, dan menyatakan bahwa wanita bukanlah penentu jenis kelamin bayi, akan tetapi air mani dari pria.

Jumat, 07 Oktober 2011

Kritertia Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam

Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.

Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.

Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?

A. Kriteria Memilih Calon Istri

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)

Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)

Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :

“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)

Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.

Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :

a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.

b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :

Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”

4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.

Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.

Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.

Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

B. Kriteria Memilih Calon Suami

1. Islam.

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)

2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.

Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :

“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.

Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.

Wallahu A’lam Bis Shawab.

Rabu, 05 Oktober 2011

CINTA DALAM PANDANGAN ISLAM

“..Ya Allah Engkau Tuhanku.. Tiada tuhan melainkan Engkau.. Engkau cinta agungku.. Nabi Muhammad utusanMu..”
Muqaddimah
Inilah Cinta Yang sebenar-benarnya, Cinta yang didasarkan atas keimanan dan ketaqwaan manusia, Cinta seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta, Cinta tanda syukur dan tiada kuasa selain kuasaNya, Cintakan Allah adalah cinta yang tidak pernah luntur dan abadi. Cinta selainnya adalah Cinta yang luntur dan berakhir. Janganlah mencintai akan sesuatu terlalu berlebih lebihan sehingga mengurangi cintamu kepada Allah. Mencintailah kamu kepadanya dengan makna Kecintaanmu kepada Allah Yang Maha Pencipta dapat diartikan memandang segala sesuatu karena Allah SWT semata sehingga apabila kamu mencintai seseorang, cintailah dia dengan sebenar-benarnya karena Allah.
Berbicara mengenai cinta, tentunya tidak akan lepas dari perbincangan kita cinta monyet yang menghiasai dunia muda-mudi sekarang ini. Malah, tidak keterlaluan untuk dinyatakan, itulah pespektif masyarakat terhadap cinta. Sedangkan cinta sebeginilah yang sering mendorong pelakunya ke arah melakukan maksiat kepada Allah SWT. Sekotor itukah cinta?
Apakah cinta sebenarnya? Cinta sebenarnya adalah fitrah manusia sebagai makhluk allah yang diciptakan untuk bersujud, bersyukur dan mengagungkan asma Allah, bahwa tiada tuhan yang patut disembah melainkan Allah SWT, atas karunia dan hidayahNya pulalah kita bisa hidup seperti sekarang ini, bagaimana udara yang kita hirup untuk bernapas secara otomatis keluar dan masuk, bagaimana mata kita bisa melihat keindahan dan alam dunia, pemberianNya tidak bias dikukur dengan ukuran manusia, yang kesemuanya itu adalah bukti tanda tanda kekuasanNya sehingga sepatutnyalah manusia bersyukur dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, mengungkapan rasa cinta dengan memandang segala sesuatu karena Allah SWT sehingga manusia tidak berlaku sombong dan jumawa atas harta, pangkat, kedudukannya dan tidak lupa atas ni’matNya.
Kesenian cinta yang didasari runtutan fitrah tanpa dicabul oleh hawa syahwat merupakan logo kedamaian, keamanan dan ketenangan. Namun cinta seringkali diperalatkan untuk melangsai keghairahan nafsu dan kebejatan iblis laknatullah. Demi kemakmuran manusia sejagat, kita mesti menangani fenomena cinta dengan nilai fikrah yang suci dan iman yang komited kepada Allah.
Permasalahan cinta antara yang dihadapi secara serius oleh umat Islam hari ini. Pertentangan antara cinta hakiki dan cinta palsu menyebabkan umat Islam menghadapi dilema perasaan yang kronik. Krisis cinta palsu telah memapah umat Islam ke medan perpecahan yang memusnahkan etika spritual-membunuh solidaritas dan menodai moral etika.
Individu mukmin sewajarnya peka terhadap kehadiran cinta di dalam jiwa. Cinta yang berlogikkan nafsu dan syahwat semata-mata hanyalah cinta palsu yang penuh jijik dan dihina.
Menyadari hakikat ini, Faisal mencoba untuk mengurai makna dan bercerita soal cinta secara ringkas menurut pandangan Islam. Apalagi dalam lapisan masyarakat remaja khususnya tertipu dengan propaganda 14 Februari yang kononnya ialah hari Kekasih. Maka sibuklah dunia berbicara soal cinta yang lebih menjurus kepada cinta zina yang bertemakan mainan perasaan yang sama sekali terseleweng dari kehendak Islam.
Semoga Allah SWT memberikan ganjaran terhadap usaha yang kecil ini dalam membersihkan jiwa pemuda-pemuda dari doktrin barat yang hanya akan menyesatkan fikiran.
Apakah Kedudukan Cinta Di Dalam Islam?
Adakah Islam memusuhi cinta? Adakah sebegini kejam sebuah agama yang disifatkan menepati fitrah? Sebenarnya tidak. Malah Islam memandang tinggi persoalan cinta yang tentunya merupakan perasaan dan fitrah yang menjiwai naluri setiap manusia. Namun, cinta di dalam Islam perlulah melalui pelbagai peringkat keutamaannya yang tersendiri :
1. Cinta kepada Allah
Islam meletakkan cinta yang tertinggi dalam kehiudupan manusia ialah cinta kepada Allah. Ketinggian nilai taqarrub Al-Abid kepada Khaliq dapat dikesan melalui cinta murni mereka kepada Pencipta. Tanpa cinta kepada Allah perlakuan hamba tidak memberi pulangan yang bererti sedangkan apa yang menjadi tunjang kepada Islam ialah mengenali dan dan menyintai Allah.
Sinaran cinta itu jua akan mendorong hamba bertindak ikhlas di mihrab pengabdian diri kepada Allah serta menghasilkan cahaya iman yang mantap. Firman Allah SWT :
“..(Walaupun demikian), ada juga di antara manusia yang mengambil selain dari Allah (untuk menjadi) sekutu-sekutu (Allah), mereka mencintainya, (memuja dan mentaatinya) sebagaimana mereka mencintai Allah; sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah…” (Surah Al-Baqarah ayat : 165)
Memiliki cinta Allah seharusnya menjadi kebanggaan individu mukmin lantaran keagungan nilai dan ketulusan ihsan-Nya.Namun menjadi suatu kesukaran untuk meraih cinta Allah tanpa pengabdian yang menjurus tepat kepada-Nya. Cinta Allah umpama satu anugerah yang tertinggi dan tidak mungkin sesiapa dapat memilikinya kecuali didahulukan dengan pengorbanan yang mahal. Cinta Allah adalah syarat yang utama untuk meletakkan diri di dalam barisan pejuang-pejuang kalimah Allah SWT. Firman Allah SWT (yang bermaksud) :
“..Wahai orang-orang yang beriman! Sesiapa di antara kamu berpaling tadah dari ugamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Ia kasihkan mereka dan mereka juga kasihkan Dia; mereka pula bersifat lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan berlaku tegas gagah terhadap orang-orang kafir…” (Surah Al-Maidah, ayat 54)
2. Cinta Kepada Rasulullah SAW dan Para Anbiya’
Apabila manusia berada di dalam kegelapan yang begitu kelam,maka diutuskan pembawa obor yang begitu terang untuk disuluhkan kepada manusia ke arah jalan kebenaran. Sayang, pembawa obor tersebut terpaksa begelumang dengan lumpur yang begitu tebal dan menahan cacian yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugas yang begitu mulia.
Pembawa obor tersebut ialah Rasulullah SAW. Maka adalah menjadi satu kewajipan kepada kepada setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim memberikan cintanya kepada Rasulullah dan para ambiya’. Kerana kecintaan inilah, para sahabat sanggup bergadai nyawa menjadikan tubuh masing-masing sebagai perisai demi mempertahankan Rasulullah SAW. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebut :
Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dengan perkara itulah dia akan memperolehi kemanisan iman: Seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, mencintai seorang hanya kerana Allah, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia juga tidak suka dicampakkan ke dalam Neraka.
(Bukhari : no. 15, Muslim : no. 60, Tirmizi : no. 2548 Nasaie : no. 4901)
Namun, dalam suasana kita sekarang yang begitu jauh dengan Rasulullah SAW dari segi masa, adakah tidak berpeluang lagi untuk kita memberikan cinta kepada Rasulullah SAW? Sekalipun Rasulullah SAW telah meninggalkan kita jauh di belakang, sesungguhnya cinta terhadap baginda boleh dbuktikan melalui kepatuhan serta kecintaan terhadap sunnahnya. Oleh yang demikian, orang yang memandang hina malah mengejek-ngejek sunnah Rasulullah SAW tentunya tidak boleh dianggap sebagai orang yang menyintai Rasulullah SAW.
3. Cinta Sesama Mukmin
Interaksi kasih sayang sesama mukmin adalah merupakan pembuluh utama untuk menyalurkan konsep persaudaraan yang begitu utuh. Cinta sesama mukmin inilah yang mengajar manusia supaya menyintai ibubapanya. Malah mengherdik ibubapa yang bererti merungkaikan talian cinta kepada keduana adalah merupakan dosa besar sebagaimana yang disebut di dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah r.a katanya:
“Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w, baginda telah bersabda: Mahukah aku ceritakan kepada kamu sebesar-besar dosa besar: Ianya tiga perkara, iaitu mensyirikkan Allah, mengherdik kedua ibu bapa dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu..”
(Hadis riwayat Bukhari, no. 5519, Muslim : no. 126)
Alangkah indahnya sebuah agama yang mengajar penganutnya agar menghormati dan menyintai kedua ibubapanya yang telah melalui susah payah untuk membesarkan anak-anak mereka. Di manakah lagi keindahan yang lebih menyerlah selain daripada yang terdapat di dalam Islam yang mengajar umatnya dengan pesanan :
“..Dan hendaklah engkau merendah diri kepada keduanya kerana belas kasihan dan kasih sayangmu, dan doakanlah (untuk mereka, dengan berkata): “Wahai Tuhanku! Cucurilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih sayangnya memelihara dan mendidikku semasa kecil.”
(Surah Israk, ayat 24)
Selain daripada cinta kepada kedua ibubapa ini, Islam juga meletakkan cinta sesama mukmin yang berimana sebagai syarat kepada sebuah perkumpulan atau jemaah yang layak bersama Rasulullah SAW. Hayatilah betapa dalamnya maksud firman Allah SWT :
“..Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)…
(Surah Al-Fath, ayat 29)
Malah, Al-Quran sendiri menukilkan betapa pujian melangit yang diberikan oleh Allah SWT kepada golongan Ansar yang ternyata menyintai golongan Muhajirin dengan cinta suci yang berasaskan wahyu Ilahi. Malah dalam keadaan mereka berhajat sekalipun, keutamaan tetap diberikan kepada saudara-saudara mereka dari golongn Muhajirin. Firman Allah SWT yang bermaksud :
“..Dan orang-orang (Ansar) yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa yang telah diberi kepada orang-orang yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. ..”
(Surah Al-Hasyr, ayat 9)
Bukankah ini yang telah diajar oleh Islam? Maka di tengah-tengah kecaman keganasan yang dilemparkan kepada Islam pada hari ini, kenapa tidak masyarakat antarabangsa malah umat Islam sendiri melihat bahawa betapa agungnya unsur kasih sayang dan cinta yang terdapat di dalam Islam? Namun, betapa agungnya cinta di dalam Islam, begitu jualah agungnya penjagaan Islam sendiri terhadap umatnya agar sama sekali tidak mencemarkan kesucian cinta dengan kekotoran nafsu.
Itulah cinta di dalam Islam. Ia tidak dapat tidak haruslah diasaskan di atas dasar keimanan kepada Allah. Alangkah ruginya cinta yang lari dari landasan iman. Akan hanyutlah jiwa-jiwa yang menyedekahkan dirinya untuk diperlakukan oleh ‘syaitan cinta’ sewenangnya-wenangnya
Cinta Dunia Remaja : Tragedi Yang Menyayat Hati
Tidak ada orang yang boleh mendakwa dirinya lari daripada mainan perasaan. Asal saja ia bernama manusia, maka sekaligus dirinya akan dicuba dengan mainan nafsu yang bagaikan lautan ganas yang begitu kuat bergelombang. Salah satu darinya ialah mainan cinta.
Tidak sedikit orang yang terjerumus dalam lembah kenistaan. Dalam berbicara persoalan peringkat pembinaan ‘cinta hawa nafsu’, As-Syauqi pernah berkata :
Benar kata Syauqi, cinta syahwat ini bermula dengan mainan mata yang tidak mempunyai sempadannya, ia kemudiannya diikuti dengan sahutan suara dan saling berhubung. Sampai peringkat tersebut, amat sukar sekali bagi pasangan cinta untuk tidak bertemu dan berdating sekaligus mendekatkan diri kepada aksi yang lebih hebat. Oleh kerana itulah, Islam dalam menjaga kesucian cinta dari dicemari oleh unsur-unsur nafsu meletakkan batasan pandangan seorang muslim dan muslimah. Firman Allah SWT yang bermaksud :
“..Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan…”
(Surah An-Nuur, ayat 30)
Betapa bahayanya cinta lutong ini boleh dilihat apabila pasangan yang dhanyutkan olehnya tidak akan berupaya untuk berfikir secara waras lagi. Setiap detik dan masa yang berlalu tidak akan sunyi dari memikirkan persoalan cinta mereka. Setiap saat, jiwa sudah tidak mampu lagi untuk tenteram sekiranya tidak didodoikan dengan suara halus dan lunak yang berbicara dengan kata-kata yang hanya layak diperdengarkan di dalam kelambu. Sudah berkubur cita-cita perjuangan dan sudah lebur harapan masyarakat yang dipikulkan di atas bahu, yang ada hanyalah kehendak memuaskan hati pasangan masing-masing. Lantas, di saat demikian, layakkah orang yang hanyut ini diharapkan memikul tanggungjawab melaksanakan tugas penting membimbing masyarakat?
Apakah penyelesaian terhadap permasalahan ini? Jalan yang paling baik ialah perkahwinan. Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud :
“..Wahai golongan pemuda! Sesiapa di antara kamu yang telah mempunyai keupayaan iaitu zahir dan batin untuk berkahwin, maka hendaklah dia berkahwin. Sesungguhnya perkahwinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka sesiapa yang tidak berkemampuan, hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu dapat mengawal iaitu benteng nafsu..”
(Bukhari : no. 1772, Muslim : no. 2485)
Selain daripada perkahwinan yang tentunya merupakan perkara yang hampir mustahil untuk dilaksanakan dalam dunia seorang penuntut ilmu, maka Rasulullah SAW mencadangkan puasa sebagai jalan terbaik melepaskan diri dari kekangan nafsu yang meronta-ronta. Selain daripada itu, Islam sama-sekali tidak membuka pintu yang lain. Selain daripada perkahwinan, tidak dapat tidak, hanyalah kawalan terhadap jiwa mampu menyelamatkan diri sendiri dari turut terjun dalam arus ganas cinta lutong.
Sesungguhnya cinta sebelum perkahwinan adalah cinta palsu yang walaupun dihiasi dengan rayuan-rayuan halus namun ia adalah panggilan-panggilan ke lembah kebinasaan! Dan sekalipun kekosongan jiwa daripada cinta lutong secara zahirnya adalah penderitaan dan kesunyian yang begitu hebat, namun itulah hakikat cinta sejati kepada Allah. Andainya hati dihiasi dengan rayuan-rayuan syaitan yang seringkali mengajak ke arah melayan perasaan, maka hilanglah di sana cita-cita agung untuk menabur bakti kepada Islam sebagai medan jihad dan perjuangan.
Percayalah, masa muda yang dianugerahkan oleh Allah hanyalah sekali berlalu dalam hidup. Ia tidak akan berulang lagi untuk kali kedua atau seterusnya. Meniti usia remaja dengan berhati-hati dan mengenepikan mainan perasaan adalah merupakan perkara yang amat sukar sekali. Apatah lagi, semakin dihambat usikan perasaan, semakin ia datang mencengkam dan membara. Namun, itulah mujahadah melawan perasaan. Sekadar perasaan dan diri sendiri menjadi musuh, alangkah malunya untuk kita tewas terlalu awal. Usia emas yang diberikan ini alangkah baiknya andainya digunakan sebaik mungkin menggali sebanyak mana anugerah di bumi ilmu.
Namun, kita manusia boleh tertewas bila-bila masa sahaja. Tidak kira siapapun kita. Sekalipun kita arif malah benar-benar mengetahui bahwa yang hadir hanyalah sekadar tipuan, namun kita bisa rebah dalam ketewasan yang kita sendiri sebenarnya merelakannya.
Mengapa manusia lebih memilih syurga dunia dan bertukar dengan syurga sebenarnya di akhirat Oleh yang demikian, apakah mereka tidak berfikir bahwa azab neraka menunggu mereka pada hari pembalasan, dan adakah penyelamat bagi mereka ? Tidak ada, sesungguhnya yang akan menyelamatkan Manusia dari azab neraka adalah keimanan, ketakwaan dan ketawadhuan dan rasa cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Naudzubillah, semoga kita mendapatkan syafaat dan terhindar dari ganasnya neraka jahanam. Amin.

PERBEDAAN JIHAD DAN QITAL (PERANG)

Oleh: uweis abdullah
Membedakan antara jihad dan qital membutuhkan kejelian. Ketika seseorang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad akan terjerumus kepada pemahaman bahwa setiap amal asalkan membutuhkan kesungguhan adalah jihad. Pemahaman ini akan membuahkan sikap peremehan terhadap jihad yang sebanarnya. Dan sebaliknya ketika seseorang telalu sempit mema’nai jihad akan menggap bahwa pertempuran dalam arti “battle” itu sajalah yang dimaksud dengan jihad. Sehingga dalam melakukan suatu tindakan kurang memperhatikan hal-hal yang medukung keberlangsungan itu semua. Memang secara bahasa, jihad tersebut sangatlah umum mencakup seluruh amal shaleh yang didalamnya ada usaha dan kesungguhan. Namun secara urf dan syar’ie penyebutan kata jihad sangat identik dengan peperangan dalam artian yang luas yaitu “War”. Demikian juga definisi jihad yang sering dikemukakan oleh para ulama memang cenderung kepada qital. Namun pada hakikatnya yang dimaksud adalah peperangan yang tidak sekedar pertempuran “battle”. Melainkan perang secara umum mencakup segala aspek usaha yang mendukung tegaknya kalimatullah.
Dengan mencermati definisi jihad secara jeli dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam, maka kita akan mendapatkan perbedaan antara jihad dan qital. Meski perbedaan yang dimaksud bukanlah perbedaan yang bertentangan “ikhtilafut tadhadh”. Melainkan perbedaan dalam ruang lingkup yang bersifat mikro dan makro. Dengan kata lain, bahwa jihad lebih umum daripada qital, dan Qital adalah bahagian daripada jihad. Perbedaan tersebut dapat dianalisa dari dua sudut pandang. Yaitu sudut pandang definisi, dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam.

Perbedaan dalam tinjauan definisi.
Definisi jihad:
Secara etimologi (bahasa) jihad adalah:
الْمُبَالَغَة وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.
(bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala daya dan kemampuan baik dari perkataan maupun perbuatan) .
Secara terminology jihad dima’nai sebagai berikut:
Penyebutan kata-kata jihad didalam al-qur’an diklasifikasikan menjadi dua:
Penyebutan jihad pada ayat-ayat makkiyah lebih cenderung kepada ma’na lughawi seperti firman Allah:
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ (العنكبوت:6)
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri”.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (العنكبوت: 69)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
Adapun penyebutan kata-kata jihad di dalam ayat-ayat madaniyah cenderung kepada ma’na qital dalam pegertian luas. Sebagaimana firman Allah swt:
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ (النساء:95)
“Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya”.
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (التوبة: 41)
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah”.
Adapun definisi para ulama tentang jihad secara syari’ adalah sebagai berikut:
Madzhab hanafiy:
الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ
“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”
Madzhab malikiy:
قَالَ ابْنُ عَرَفَةَ قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ
Berkata ibnu arafah: “perangnya muslim terhadap orang kafir yang tidak terikat perjanjian dalam rangka meninggikan kalimat Allah swt”.
Madzhab syfi’iy:
القتال في سبيل الله مأخوذ من المجاهدة، وهي المقاتلة في سبيل الله
“perang di jalan Allah diambil dari kata al-mujahadah yaitu peperangan di jalan Allah”
hambaliy:
قِتَالُ الْكُفَّارِ
“memerangi orang kafir”
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad mecakup beberapa hal:
1. Adanya usaha untuk I’la’u kalimatillah dengan mengorbankan nyawa dan harta
2. Menyeru untuk masuk atau tunduk kepada dinul islam
3. Di dalamnya terdapat qital
Definisi Qital:
Secara bahasa qital adalah:
Qital diambi dari kata قَاتَلَ-يُقَاتِلُ قِتَالًا وقِيْتَالًا, yang apa bila ditambah هُ
berma’na: (حَارَبَهُ وعَادَاهُ) “memerangi dan memusuhinya”
Secara istilah adalah:
Penyebutan qital dalam mempunyai ma’na pertempuran yang berujung kepada kemenangan atau kekalahan. Sebagaimana firman Allah:
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء: 74)
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”
firmannya juga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. At-taubah: 123)
Dan jihad secara istilah adalah:
الْحَرْبُ والْمُدَافَعَةُ بِالسلَاحِ
“peperangan dan perlawan dengan senjata”
Syeit khattab berkata “ma’na qital dalam islam adalah: memerangi musuh dalam rangka menjaga kebebasan penyebaran da’wah, dan melakukan rukun islam, dengan tetap menjaga etika-etika dalam peperangan”.
Kesimpilan dari ma’na qital adalah:
1. Terjadinya pertempuran pada dua pihak, yang berujung pada kemenangan atau kekalahan.
2. Penyebutan qital mencakup jalan yang benar dalam artian fi sabilillah dan jalan yang salah. Tergantung tujuannya dan prakteknya.
3. Qital dalam lingkup fi sabilillah khusus menjuru kepada pertempuran dan hanya merupakan bahagian dari rangkaian jihad. Sebagaimana pernyataan syeit khattab bahwa ma’na qital adalah dalam rangka menjaga penyebaran da’wah, sedangkan da’wah itu sendiri merupakan rangkaian dari jihad namun tidak termasuk dalam qital.
Kesimpulan perbedaan antara jiha dan qital:
1. jihad: umum mencakup usaha I’la’u kalimatillah
Qital: bagian daripada usaha menegakkan kalimatullah
2. jihad: tidak selalu dengan pertempuran
Qital: intinya adalah pertempuran
3. jihad: penyebutannya identik dengan usaha I’la’u kalimatillah
Qital: penyebutannya mempunyai ma’na yang relative tergantung apa tujuan perang tersebut.

Perbedaan pada praktek lapangan dalam sejarah islam
Praktek jihad dalam sejarah islam sangatlah luas mencakup seluruh rangkaian usaha dalam menegakkan kalimat Allah. Sedangkan qital adalah pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang kafir dalam rangkaian jihad untuk menegakkan kalimat allah subhanahu wata’ala.
Oleh karenanyalah rasulullah saw pada setiap kali melancarkan jihad, meberikan tugas masing-masing kepada para sahabat. Tidak semua dari mereka terjun didalam pertermpuran. Diantara mereka ada yang menjaga madinah sebagaimana mereka yang disuruh menetap pada perang tabuk untuk menjaga madinah dan menjaga keluarga rasulullah saw. Seluruh rangkaian usaha dalam meninggikan kalimat allah yang saling kuat mengutkan antara satu dan lainnya inilah merupakan praktek jihad dalam sejarah islam.
Dalam usaha pembebasan Makkah sendiri rasulullah saw sangatlah berusaha untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah. Beliau membuat strategi jihad yang yang mampu mengalahkan kaum musrikin dengan meminimalkan pertempuran. Pada malam harinya rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar masing-masing mereka menyalakan obor. Sehingga dengan banyaknya obor menyala yang mencapai sepuluh ribu menjadikan ciutnya nyali kaum musyrikin. Mereka menganggap pasukan kaum muslimin sangatlah besar dan tidak ada pilihan lain kecuali menyerah tanpa perlawanan.
Demikian pula dalam perang tabuk. Rasulullah tidak hanya mengandalkan pertempuran dalam melancarkan jihad. Namun beliau banyak bermain pada sisi politik dengan mengadakan perjanjian degan Qabilah-qabilah setempat. Beliau mengadakan perjajian dengan penduduk “Ailah” , “Jarba”, dan “Daumatul jandal”. Sehingga dengan permainan politik inilah orang-orang romawi mengalami kekacauan dan kekalahan tanpa pertempuran.

Tela’ah ktitis definisi ulama kontemporer tentang jihad
Sebahagian ulama dalam beberapa buku menyebutkan kalimat jihad seakan membatasi hanya terbatas dengan Qital. Sebagaimana yang banyak di ungkapkan dengan istilah (إذا أطلقت كلمة الجهاد فهو قتال ) apabila kalimat jihad disebutkan secara mutlak maka ma’nanya adalah Qital . Ungkapan ini perlu difahami dengan cermat dalam kondisi apa penulis sedang mengungkapkan dan apa maksud dari ungkapan tersebut.
Penulis mengungkapkan istilah ini dalam keadaan mengcounter pemahaman keliru sebagaimana yang tersebut dalam muqddimah makalah ini. Yaitu pemahaman yang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad sehingga setiap amal asalkan terdapat padanya kesusah payahan maka dianggap sebagi jihad yang sebenarnya. Pemahaman ini akan menihilkan Qital dalam rangkaian jihad.
Adapun dalil yang biasa digunakan untuk membatasi jihad hanya sebatas qital, juga perlu difahami secara cermat. Seperti misalnya hadits dari amru bin abasah tentang seorang yang bertanya kepada rasulullah tentang isalam, iman, hijrah, jihad. Ketika orang itu bertanya kepada rasulullah:
وَمَا الْجِهَادُ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ
“apakah jihad itu? Beliau menjawab: engkau memerangi orang kafir apabila menemuinya”.
Hadits di atas dan yang senada dengannya, tidaklah menunjukkan (الحصر) pembatasan bahwa hanya qital dalam artian “battle” saja. Jadi kurang tepat untuk dijadikan hujjah bahwa jihad hanyalah Qital. Ungkapan hadits di atas lebih cenderung mirip dengan ungkapan (من الملاؤئكة؟ قال: جبريل) siapakan malaikat itu? Ia menjawab: jibril. Jawaban ini benar, namun bukan pembatasan bahwa malaikan itu hanya satu, yaitu jibril. Namun masih banyak malaikat-malaikat lainnya.
Terlebih lagi argumentasi bahwa jihad tidak dibatasi hanya dengan qital dikuatkan dengan sunnah fi’liyyah yang tersebut dalam sejarah pembebasan makkah. Rasulullah sangat berusaha menghindari Qital . Lantas dengan tidak adanya Qital apakah pembebasan makkah tidak dianggap sebagai jihad?. Begitu juga penaklukan wilayah-wilayah yang akhrnya menyerah tanpa terjadi Qital apakah tidak disebut sebagai jihad?.
Sebagai penutup, kalau saja benar ada pendapat ulama yang hanya membatasi jihad hanya dengan Qital, maka penulis katakan definisi itu bukanlah ijma para ulama. Sebagaimana definisi jihad yang di ungkapkan oleh ulama madzhab hanafi bahwa da’wah untuk menyeru orang kafir masuk ke dalam agama islam merupakan jihad.
الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ
“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”
Sehingga dengan demikian pendapat seorang ulama tidak bisa menggugurkan pendapat ulama lain tanpa di landasi dalil dri nash yang jelas.
Wallahu a’lam bis shawab

Referensi:
lisanul arab
Al-Inayah syarhul hidayah, syamilah
Mauhibul jalil fi syarhi muskhtashori syaikhil jalil, syamilah
I’anatut thalibin, syamilah
Syarh muntahal iradat, syamilah
Al-munjid fi lughah
Mu’jam lughatil fuqaha, syamilah
Ar-rasul al-qo’id
Al-jihad wal-qital fis siyasah as-syar’iyah
Ar-rahiqul makhtum